Osgood Perkins kembali menghadirkan film horor terbaru, The Monkey, yang menawarkan sesuatu yang berbeda dari karya-karyanya sebelumnya. Jika I Am The Pretty Thing That Lives in the House menggali ketakutannya terhadap figur sang ayah, Anthony Perkins, dan Longlegs mengeksplorasi pengaruh ibunya, maka The Monkey menjadi wadah bagi Perkins untuk mengeksplorasi lebih dalam tentang trauma turun-temurun. Kali ini, ia menyajikannya dengan pendekatan yang lebih unik, menggabungkan unsur horor estetis yang khas dengan sentuhan komedi hitam.
Diadaptasi dari cerita pendek Stephen King, The Monkey mengikuti kisah dua saudara kembar bernama Hal dan Bill (diperankan oleh Theo James sebagai versi dewasa dan Christian Convery sebagai versi muda) yang hidup mereka dihantui oleh sebuah mainan monyet misterius. Setiap kali mainan itu berbunyi, kematian pun terjadi. Sebagai film horor, The Monkey tidak hanya menyajikan teror tetapi juga elemen absurditas yang mengingatkan pada Cocaine Bear. Bedanya, Perkins mengemasnya dengan pendekatan yang lebih artistik dan terarah. Film ini sebaiknya tidak ditonton dengan ekspektasi terlalu serius, melainkan sebagai pengalaman yang penuh ketegangan, kekejian, dan kegilaan khas horor grotesk ala Final Destination.
Salah satu aspek paling menonjol dalam film ini adalah penampilan para pemainnya. Theo James memberikan penampilan luar biasa dengan memerankan saudara kembar tersebut. Ia berhasil membedakan dua karakter tersebut dengan detail, meskipun memiliki wajah dan suara yang identik.
Hal yang sama juga berlaku untuk Christian Convery, yang berperan sebagai versi muda dari karakter tersebut. Penampilannya hebat dan krusial dalam membangun latar belakang Hal dan Bill yang menjadi inti kisahnya dengan screentime yang cukup panjang.
Seperti karya-karya Perkins sebelumnya, The Monkey lebih dari sekadar film horor. Di balik adegan-adegan menegangkan dan humor gelapnya, film ini mengeksplorasi bagaimana trauma dari generasi ke generasi tetap hidup dan memengaruhi seseorang, baik secara sadar maupun tidak. Perkins tidak sekadar mengadaptasi cerita Stephen King, tetapi juga menyisipkan perspektifnya sendiri tentang bagaimana masa lalu yang kelam terus menghantui dan membentuk kehidupan kita.
Namun, humor dalam film ini bukan sekadar tempelan. Momen-momen lucunya benar-benar berhasil mengundang tawa, tetapi bisa tiba-tiba berubah menjadi sesuatu yang mengerikan—atau bahkan terjadi secara bersamaan. Komedi gelap lebih menonjol dibandingkan unsur gore-nya, dengan beberapa adegan yang tampak konyol namun jelas memiliki maksud tertentu. Meskipun demikian, adegan penuh darah dan kekerasan tetap brutal, bahkan di beberapa momen cukup ekstrem hingga membuat penonton ingin menutup mata dan jijik akan hal tersebut.
Dengan film ini, Osgood Perkins kembali membuktikan dirinya sebagai sutradara horor yang terus berkembang dan bereksperimen. The Monkey tetap mempertahankan atmosfer horor yang menghantui, namun dengan tambahan elemen komedi gelap yang menjadikannya lebih segar. Film ini sukses mengundang tawa dalam ketakutan, dengan visual yang dipenuhi darah dan adegan pembunuhan brutal, sekaligus mengajak penonton merenungkan dampak mendalam dari trauma yang diwariskan lintas generasi.
Rate: 4/5
Reviewed by Adam