No products in the cart.
Kisahnya simpel, kenalan karena insiden, merasa cocok, menikah lalu sang wanita terkena kanker, that’s it.
Sekilas mungkin premis yang disajikan dalam We Live In Time mirip dengan apa yang biasa kita saksikan di FTV. Namun sutradara John Crowley dengan cerdas membuat film ini terasa berbeda dengan alur maju-mundurnya. Kombinasi antara ia dengan Justine Wright, mereka mengacak-acak alur tersebut sehingga menjadi tontonan yang sangat menyentuh dan membuat para penonton cukup berantakan emosinya kala menyaksikannya.
Mereka berdua juga tak memakai konsep sebab-akibat dalam penyuguhan cerita dan lebih mengedepankan skala emosi yang dibawakan kedua bintang utamanya, Andrew Garfield dan Florence Pugh, yang bermain sangat baik di sana.
Andrew yang menampilkan kekakuannya sebagai pegawai kantoran dan Florence yang cukup energik, liar dan juga penuh hasrat untuk mengejar kariernya sebagai chef seolah dua kutub yang berbeda yang disatukan lewat cinta. Duh.
Bagaimana Andrew yang jarang sekali menampilkan emosinya hampir di dua pertiga film membuat penonton makin simpati padanya yang berkali-kali harus mengalah. Rasa dilema antara membahagiakan pasangan dan memuaskan ego menjadi pertempuran yang menarik untuk disaksikan dari karakter Tobias.
Namun menjelang akhir film justru Florence Pugh yang mencuri hati para penonton di mana ia melakukan perpisahan yang sangat berkesan untuk putrinya dan juga kekasihnya itu.
Film ini seolah menjadi refleksi untuk para pasangan, bagaimana terkadang kita lupa untuk bersyukur dan menatap terlalu jauh hingga lalai bahwa kita hidup di saat ini.
Rating: 8/10. 4/5. Tonton selagi ada di bioskop!