Judul The Unbreakable Boy terasa menyesatkan. Ceritanya bukan hanya tentang anak laki-laki itu, dan bahkan jika judulnya disingkat menjadi The Unbreakable atau Unbreakable, tetap saja bertentangan dengan pesan utama film ini. Segala sesuatu bisa hancur—manusia bisa hancur. Yang penting adalah bagaimana mereka sembuh dan bangkit kembali. Judul yang lebih baik seharusnya mencerminkan hal itu, bukan malah memberikan kesan ketangguhan yang hampir seperti mitos. Mungkin ini hanya masalah nuansa bahasa, tetapi ketika judul film bertentangan dengan tema ceritanya, hal itu menciptakan ketidaksesuaian yang membuat sulit untuk benar-benar terhubung dengan kisahnya.
Film ini mengikuti pola cerita yang sudah terlalu sering digunakan. Segalanya disajikan dalam hitam dan putih, tanpa ruang bagi kompleksitas kehidupan nyata—di mana justru terdapat momen-momen paling menarik. Kehidupan tidak sesederhana antara “baik” dan “buruk,” tetapi film ini tampaknya tidak tertarik untuk mengeksplorasi area abu-abu tersebut. Alih-alih membiarkan penonton memahami sesuatu yang nyata, film ini lebih berfokus untuk memastikan mereka merasa terinspirasi.
Target utama film ini jelas mereka yang mencari inspirasi. Dan meskipun inspirasi memang ada di dalamnya, masalah muncul ketika fokus terlalu banyak diberikan kepada sang ayah. Austin, yang seharusnya menjadi pusat cerita, justru lebih berfungsi sebagai alat untuk mendorong perkembangan karakter ayahnya. Dia tidak memiliki perjalanan emosionalnya sendiri—autismenya hanya digambarkan semakin memburuk hingga ia mulai menyakiti orang-orang di sekitarnya. Namun, alih-alih mengeksplorasi apa artinya bagi dirinya, film ini justru menggunakannya sebagai momen bagi sang ayah untuk bertumbuh.
Bahkan dalam adegan akhir, ketika keluarga LeRette yang asli diperlihatkan, Austin digambarkan sebagai “masih sama.” Ini menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam: Apa yang sebenarnya terjadi? Apa saja perjuangan dan pencapaian yang tidak ditampilkan? Bagaimana Austin benar-benar mengalami hidupnya sendiri? Sayangnya, film ini tidak pernah membahasnya, yang membuat ceritanya terasa dangkal. Kisah Austin seharusnya lebih dari sekadar alat untuk mendukung perjalanan karakter lain.
Masyarakat membutuhkan representasi autisme yang lebih baik. Film ini memperlakukannya sebagai alat dramatis daripada pengalaman yang autentik. Autisme adalah spektrum yang luas, tetapi penggambaran dalam film ini dipilih karena sesuai dengan alur emosional dan pesan yang ingin disampaikan. Menampilkan autisme saja tidak cukup; harus ada upaya untuk merepresentasikannya dengan hati-hati, akurat, dan mendalam. Jika sebuah film ingin bercerita tentang autisme, maka orang autistik harus terlibat dalam proses kreatifnya. Suara mereka harus turut membentuk narasi, bukan hanya menjadi cerita yang disaring melalui sudut pandang luar yang lebih mementingkan drama daripada kebenaran. Jika tidak, film semacam ini hanya akan gagal memberikan keadilan bagi mereka yang hidup dengan autisme.
The Unbreakable Boy di permukaan terlihat seperti film yang memiliki pesan positif dan penting, dan tidak mengherankan jika audiens umum menikmati menontonnya. Namun, jika kita melihat lebih dekat dan lebih dalam ke masalah yang ada di dalamnya, mungkin kita perlu berpikir ulang dan merenungkan isu yang lebih mendalam… sesuatu yang justru tidak dilakukan oleh film ini, dan itulah yang membuatnya terasa dangkal.
Apalagi mengingat karya-karya serupa yang telah dibuat oleh sang sutradara, Jon Gunn, yang dikenal dengan film-film bertema inspiratif dan religius seperti The Case for Christ dan Do You Believe?. Film-filmnya sering kali berfokus pada pesan moral atau spiritual yang kuat, tetapi terkadang cenderung menyederhanakan kompleksitas kehidupan nyata demi menyampaikan pesan yang diinginkan. Dalam konteks The Unbreakable Boy, pendekatan ini membuat cerita terasa kurang mendalam, terutama dalam penggambaran autisme yang lebih digunakan sebagai alat dramatis daripada eksplorasi yang autentik.
Rate: 2/5
Reviewed by Adam